Akhir Kisah Cinta si Doel: Adat Istiadat Betawi Tak Boleh Dilupakan




Sebuah film yang diawali dari serial di layar kaca TV lalu dilanjutkan hingga ke layar lebar bioskop sungguh menarik disimak. Betapa tidak, aku yang selalu mengikuti serialnya sejak di TV menjadi penasaran akan kisah selanjutnya dalam tayangan di bioskop. Inilah sebuah kisah Si Doel Anak Sekolah yang membumi dan mengenalkan tentang budaya betawinya.
Pada kisah akhir dari Si Doel Anak Sekolah ini berupa tayangan bioskop dengan judul Akhir Kisah Cinta Si Doel. Si Doel yang masih saja plin plan dan bimbang untuk memilih antara Sarah atau Zainab. Sarah dengan perawakan indo Belanda sedangkan Zainab dengan tradisi jiwa betawi yang kental.
Di film akhir ini, terkuak pula kekasih hati si Mandra, yaitu Munaroh dengan gaya khas betawinya pula. Pertemuan Mandra dan anaknya Munaroh hingga membuka kembali hati Mandra kepada Munaroh masih teta tersimpan. Lagi-lagi kisah si Doel memang masih dihidupkan dengan adanya Mandra yang lucu.
Bukan saja itu, di scene masih saja terungka plin plannya Si Doel dalam menentukan hati. Namun, sebagai ciri dari orang Betawi yang taat dalam beribadah akhirnya diungkapkan oleh Si Doel dengan mengembalikan hidupnya kepada Tuhan. Scene yang epik yaitu salat malam berupa istikharahnya si Doel untuk menentukan siapa hati yang harus ia pilih. Disinilah sebuah rasa harus memilih kebaikan berdasarkan Tuhan yang inginkan. Memang berat untuk memilih sesuatu yang tidak disuka tapi itulah suatu keberkahan yang diberikan oleh Tuhan. Disini, mungkin pesan yang ingin ditampilkan.
Selain itu, scene akhir berupa perjumpaan di bawah pohon sawo memberikan sendu kisah cinta si Doel harus diakhiri. Banyak yang akan kesal kalau menonton si Doel ini. Namun, Si Doel sudah menentukan sikap kisah cintanya untuk yang terbaik menurut Tuhan. Si Doel tidak ingin mengubah pilihannya.

Ohya, kisah si Dul yang merupakan anak kandung Si Doel bersama pernikahannya dengan Sarah juga ditampilkan dengan menarik. Si Dul yang masih berusia belasan tahun harus menerima kenyataan baik atau buruknya jika si Doel harus memilih Sarah atau Zainab. Sebuah sikap dari Si Dul patut diacungkan jempol dengan sebuah pernyataan, ‘Si Dul akan menerima kenyataan apapun yang dipilih oleh Si Doel, asalkan Si Doel masih menerima Si Dul sebagai anaknya.’ Sebuah nilai humanis dan agamis juga ditampilkan melalui scene ini.
Dan yang paling penting dari kisah ini bahwa nilai budaya Betawi tidak dilupakan dengan ciri agamisnya. Kearifan Lokalitas Betawi masih tetap ditampilkan dengan rasa toleransinya. Si Dul selaku anak kandung SI Doel yang lama tinggal di Belanda harus belajar budaya Betawi tanpa ada pemaksaan. Mulai dari Si Dul yang mencoba belajar memahami dan menerima bahwa Si Doel adalah sopir angkot oplet dan Si Dul pun menjadi kenek oplet.
Pembelajaran dalam beribadah pun dituangkan dengan rasa toleransinya yaitu belajar salatnya Si Dul kepada Si Doel. Hal ini ditayangkan dalam scene bahwa anak laki-laki harus salat di masjid. Si Dul pun menerima hal tersebut. Rasa toleransi yang menarik ditampilkan tanpa harus memaksakan kehendak dalam hal beribadah kepada orang lain. Sebuah pesan apik ditengah kegalauan bangsa dengan toleransi yang mulai terpecah di kota metropolitan Jakarta.

Baiklah, sebelum diakhiri tulisan ini ingin kuungkapkan bahwa nilai kebudayaan, agamis dan humanisme dalam hidup memang harus ditonjolkan bahkan dalam sisi apapun. Nah, sebuah filosofi yang menarik pula di Akhir Kisah Cinta Si Doel ini yaitu scene pohon sawo yang memberikan makna sebuah ketegaran atas apapun yang dipilih. Meski akan ada hati yang tersakiti, bahkan hingga 27 tahun lamanya film ini terus dinanti oleh para penggemar film Si Doel.
Oke, demikian ya, kuakhiri tulisanku untuk siapapun kita juga harus memberikan sikap yang lebih baik meski akan ada suka maupun duka.

Komentar

Postingan Populer