Rumah di Seribu Ombak, Menyatukan Kisah Persahabatan dan Kelamnya Kehidupan

poster film (dok. Rumah di Seribu Ombak)


Film Rumah di Seribu Ombak merupakan film yang memberikan makna toleransi mewujudkan nilai persatuan. Dua remaja dalam film ini membuktikan hal tersebut. Samihi (11 tahun) beragama islam, menjalin persahabatan dengan Yanik (12 tahun) beragama Hindu.

Pertemuan Samihi dengan Yanik diawali saat Samihi dibully oleh sekelompok anak di sebuah pantai di  Desa Kaliasem Singaraja Kabupaten Buleleng. Melalui pertemuan tersebut akhirnya terurai rasa ketakutan Samihi kepada ombak di pantai juga dengan derasnya air mengalir.

Air dikisahkan sebagai lambang kedamaian terurai dalam film. Air laut yang menerjang, membuat Samihi berjuang untuk menaklukkan rasa ketakutan pada dirinya. Yanik membantu Samihi untuk berjuang melawan ketakutannya tersebut. Emosi terpancar pada Yanik dan Samihi di kala Yanik yang menyeret Samihi untuk bisa berenang bahkan berselancar di pantai.

Makna ketaatan beragama terlihat saat Samihi dengan perantara Yanik berlatih Qiro’at (Qur’an) untuk bisa berlomba Qiro’at dan memenangkannya. Samihi belajar melatih nafas dan irama lagu Qira’at dengan melihat umat Hindu beribadah. Ya, saat umat Hindu sedang beribadah dalam mengurai kata-kata dengan suara yang harmonis dan panjangnya nafas. Disitulah terlihat sebuah toleransi tanpa mencampuradukkan beribadah. 

Namun, Yanik mengetahui ayahnnya meninggal dalam peristiwa bom bali, Yanik terpukul dan meninggalkan rumahnya. Samihi mencari Yanik dengan penggambaran kondisi rumah yang kosong dan sepi, menandakan bahwa Yanik dan ibunya telah meninggalkan Desa Kaliasem. Sisi kelam film semakin menyatu dengan sinematografi bernuansa oranye, semilir angin, hingga ladang sawah yang sepi dan tandus. Akhirnya, penonton bisa merasakan pilu Yanik.

Sisi kelam Yanik lainnya tergambarkan dalam kisah Yanik sebagai korban phedofilia. Andrew yang seorang turis Belgia yang telah merayu dan menodai Yanik di dalam rumah Andrew dan mengabadikan kisahnya lewat handycam milik Andrew. Yanik bercerita kepada Samihi tentang kisah kelamnya tersebut. Mereka berdua bersama-sama mencuri bukti tersebut agar Yanik bisa hidup nyaman. Mereka berdua yang mencuri handycam dengan diam-diam bahkan dengan memanjat pagar rumah Andrew yang tinggi dan kokoh. Penggambaran wajah dan emosi menyatu erat dalam adegan mencuri tersebut.

Sayang sungguh sayang, dengan mengisahkan bahwa Yanik seorang pemandu tur lumba-lumba di Pantai Lovina tidak digambarkan secara jelas. Kurang dieksplore secara gamblang dan menarik. Terutama adegan lumba-lumba tidak ada dalam penggambaran. Kisahnya hanya digambarkan dengan adanya gambar lumba-lumba yang menghiasi papan selancar saja. Padahal, kisah dengan lumba-lumba akan semakin menambah daya tarik yang elok dalam film bernuansa kearifan lokal ini.


adegan film (dok. Rumah di Seribu Ombak)


Penjewantahan kisah persahabatan Yanik dan Samihi sungguh elok digambarkan antara menyatunya angin yang bersemilir menyapu wajah mereka di atas pohon di pinggir pantai maupun di pohon yang digunakan sebagai jembatan penyeberang kali.  Kisah mereka berdua, juga turut diikuti oleh adik Samihi yaitu Samimi. Samimi ternyata menjadi wanita yang dicintai oleh Yanik. Memandangi ombak juga sebagai penggambaran ekspresi tokoh untuk bermimpi dan menghilangkan kelam.

Motivasi Yanik kepada Samihi sungguh terasa dengan kisah suksesnya Samihi menjuarai Qiro’at dan lomba berselancar hingga ke Eropa. Namun, kisah Yanik tetap menjadi kisah kelam tanpa ada yang bisa mengubahnya. Yanik harus rela untuk meninggalkan Samimi agar bisa bahagia mengikuti jejak kakaknya hingga ke luar negeri. Ombak yang berdebur keras sebagai pertanda menyatunya Yanik kepada ombak di negeri Seribu Ombak untuk membangun rumah di atasnya.


poster film (dok. Rumah di Seribu Ombak)




Komentar

Postingan Populer