PANDANGANKU TERHADAP KUSTA

 


Tak banyak yang menyangka jika penyakit kusta ini memang masih menjadi momok yang luar biasa menakutkan. Betapa tidak? Sedari kecil jika mendengar orang terkena penyakit kusta seakan merupakan penyakit kutukan dari Tuhan, benarkah? Yups begitulah yang kualami dan menjadi sebuah gunjingan yang salah yang telah kulakukan kepada orang yang terkena penyakit kusta ini.

Alhasil, karena sebuah kemalasan mempengaruhi sikapku sehingga Kutak mau untuk mengetahui lebih jauh terkait penyakit ini. Namun, hasratku mendesir untuk mengetahui lebih jauh terkait penyakit ini yang diadakan oleh KBR Indonesia dan NLR Indonesia dengan tajuk media gathering dan peluncuruan proyek SUKA #SuaraUntukKusta pada 14 April 2021. 



KBR yang merupakan singkatan dari Kantor Berita Radio adalah media penyebar informasi untuk khalayak, sedangkan NLR Indonesia adalah organisasi nirlaba atau LSM yang memulai kegiatannya pada tahun 1975 yang mendorong pemberantasan kusta dan inklusi bagi orang dengan disabilitas termasuk akibat kusta.

Ternyata, memang benar sebuah paradigma salah yang menghampiriku bahwa penderita kusta di Indonesia adalah nomor ketiga di dunia. Ini merupakan suatu hal yang perlu ditindak agar penyebarannya bisa segera terhentikan, dan juga penderita bisa sembuh.

Dalam acara tersebut seorang yang pernah menderita kusta memberikan suara hatinya. Penyembuhan kusta itu bisa dilakukan dengan sebuah modal tekad kuat dan dorongan semangat dari para keluarga bahkan sahabat dan teman-teman untuk bisa sembuh dari penyakit ini.

Lutfi Anandika mengungkapkan bahwa penyakit ini harus diberantas bukan saja dari tubuh penderita namun juga dalam pemberitaan terkait penyakit kusta juga harus semakin lebih baik. Kiranya ada dua langkah yang dapat dilakukan media yaitu pelatihan menggali kemampuan jurnalis dan etika jurnalistik, dan melakukan pemberitaan terkait kusta tidak hanya di momen tertentu saja.

Ya, menurut Lutfi, bagi seorang jurnalistik perlu kiranya memiliki diksi-diksi manusiawi dalam pemberitaan. Sumber pemberitaan bukan hanya tulisan, namun juga foto atau video bisa dibuat lebih manusiawi. Angle yang terambil pada foto harus lebih bermakna. Sebagai contoh pada angle pemberian sedekah atau donasi, sebaiknya menghindari pengambilan foto momen serah terima hadiah, Hal ini justru akan melucuti kepercayaan diri bagi disabilitas, bahwa mereka tidak ingin dikasihani. Angle lainnya yaitu menghindari pengambilan foto narasumber penderita kusta atau penyandang disabilitas yang melibatkan unsur kasihan. Memang, saat ini masih banyak yang melakukan kesalahan dalam pengambilan gambar terkait hal tersebut.

Nah, selain pemberitaan yang memang harus kontinu bukan hanya pada momen tertentu ini, akhirnya salah satu dasar bagi diriku yang mengalami kesalahan paradigma terkait penyakit kusta. Menurut Lutfi disabilitas adalah manusia yang juga harus dihormati termasuk di dalam frame dan karya jurnalistik. Lutfi yang juga sebagai jurnalis majalah Diffa juga mengajak awak media pada acara gathering tersebut agar bisa melakukan perbaikan dan perubahan untuk mengubah persepsi yang sala di masyarakat.

Senada dengan Lutfi, Sasmito Madrim selaku Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) bahwa masih banyak awak media yang melakukan kesalahan diksi dalam melakukan pemberitaan. Diksi-diksi yang digunakan masih tidak manusiawi, padahal ada kode etik jurnalistik yang harus dipatuhi. Salah satu contohnya yaitu tidak menggunakan kata ‘orang gila’ namun bisa diganti dengan ‘orang dengan gangguan jiwa’.

Nah, semakin tercerahkan diriku untuk tidak mengucilkan penyandang disabilitas dan penyakit kusta. Namun perlu bagi diriku untuk terus memberikan dorongan agar penderita bisa sembuh dan tetap berkontribusi untuk negeri Indonesia tercinta.

 Bukan hanya itu saja, ternyata dalam acara yang dilakukan selama dua jam-an tersebut juga diberikan pemahaman bahwa penyakit kusta saat ini telah ada obatnya. Untuk mendapatkan obat tersebut, bisa didapatkan di puskesmas secara gratis. 

Penelusuranku terkait penyakit kusta akhirnya terpecahkan. Penyakit kusta ini adalah sebuah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh kuman kusta, Mycobacterium leprae. DIjelaskan oleh dr. Christina Widaningrum, M.Kes selaku Technical Advisor Program Leprosy Control, NLR Indonesia,menyampaikan bahwa penyakit kusta ini bukan karena kutukan, bukan juga karena keturunan. Pasutri yang bersama-sama menderita penyakit ini, anaknya belum tentu akan menderita penyakit kusta ini.

Penderita kusta ini, menurutnya, bisa disembuhkan tanpa cacat bila berobat sedari dini. Mengetahui gejala yang timbul dari penyakit ini lalu berobat dan mendapatkan pengobatan, maka bisa disembuhkan penyakit kusta ini.

Penyakit kusta ini memang ada 2 jenis yaitu kusta kering (dengan non gejala) dan kusta basah (dengan gejalanya yang terlihat). Penularan kusta terjadi melalui pernafasan dan juga sanitasi yang buruk. Penularan terjadi melalui pernafasan dari penderita kusta yang tidak diobati dan adanya kontak yang erat dan cukup lama. Jika ada satu penderita kusta, maka keluarga dan masyarakat sekita wajib memeriksakan diri ke pusat layanan kesehata untuk penanganan dan pencegahan sedari dini.

Menuru dr. Christina, hal tersebut sangat efektif untuk memutus rantai penyakit menular yang tidak mudah menular tersebut. Gejala awal bagi penderita kusta yaitu diatndai dengan adanya bercak putih seperti panu atau kemerahan pada kulit, mati rasa, tidak gatal dan tidak sakit. Lalu pada gejala lanjutan yaitu ada kecacatan pada organ tubuh karena kuman leprae sudah menyerang saraf tepi. Efeknya yaitu mata tidak bisa menutup bahkan ada yang sampai buta. Selain itu, tangan dan kaki yang diawali dengan mati rasa di telapak, jari-jarinya kiting, memendek, putus, lunglai hingga kakinya semper.

Nah, jika melihat gejala awal berupa bercak putih sebaiknya segera periksanakan ke lembaga kesehatan. Dan perlu kiranya imunisasi BCG sejak bayi. Meskipun efek kecil untuk penularan tapi hal tersebut salah satu langkah efektif yang cukup berpengaruh terhadap kekebalan seseorang dari kuman kusta.

Dan sebuah langkah efektif yaitu pengobatan di puskesmas secara gratis, dan jika sudah sembuh dari penyakit kusta ini, kecil kemungkinan akan terjangkit kembali. Maka sebuah langkah yang lebih baik yaitu segera memeriksakan sedari dini. Info inilah yang ternyata membuatku paham dan harus melakukan perubahan stigma. Hal ini agar Indonesia bisa lebih baik dan terbebas dari marabahaya penyakit.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer