Seberapa Penting Media dalam Mengemas Isu Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak!


 

Kondisi pandemi yang kian berkepanjangan menjadi keresahan tersendiri. Terlalu banyak di rumah efek dari Work From Home (WFH) menjadi dilema maraknya kekerasan terhadap perempuan. Bahkan Kekerasan terhadap anak pun mengalami hal yang sama. Peningkatan kasus ini kian marak dan terus bertambah.

Meminimalisir terjadinya kasus demi kasus tersebut ada sebuah peran besar dari penggiat media tentunya. Media cetak, hingga kepada media sosial. Tentu yang perlu dilakukan adalah sebuah kearifan agar kasus Kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin berkurang.

Aku pun turut mengikuti sebuah webinar secara langsung via zoom dalam tajuk Peran Media dalam Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan. Acara tersebut berlangsung pada Kamis, 25 November 2021 pukul 10.00 – 12.00 WIB. Menariknya dalam mengikuti webinar yang diadakan oleh yayasan Care Peduli Indonesia tersebut adalah pembicara yang juga sudah berkecimpung di media tentunya.

Sebut saja salah satu pembicara bernama lengkap Veryanto Sihotang selaku Komisioner Komnas Perempuan. Veryanto sudah lama berkecimpung di bidang penanggulangan terhadap kasus perempuan dan anak. Veryanto pun menyoroti media yang masih belum beritikad baik terhadap pemberitaan kasus perempuan maupun anak.

Media yang kerap ditemui oleh Veryanto yaitu masih minim perspektif. Ada beberapa temuan Veryanto terkait hal tersebut, yaitu pada saat pemberitaan media kerap menggunakan diksi yang vulgar. Alih-alih menaikkan rating most viewed (banyak dibaca) pada berita yang ditulis pada sebuah media, justru akan berdampak kebalikan bagi sang korban kekerasa. Diksi vulgar justru akan berdampak pada rasa trauma yang semakin berlebih bagi korban.

Bukan saja pada bahasa vulgar, kerap kali ditemui pada sebuah media menuliskan detail identitas korban. Nama dan alamat dari korban dituliskan secara gamblang oleh pelaku media. Ini akan menambah gangguan dan juga trauma yang berlebih kepada korban kekerasan.



Veryanto juga mengulas masih adanya media yang justru membela pelaku dan menyalahkan korban. Ada media yang menyudutkan korban dengan sebuah narasi bahwa terjadinya kekerasan adalah sebuah rekayasa. Ini justru akan membuat kebalikan dari fakta sebenarnya.

Temuan lain yaitu Veryanto kerap menemui adanya media yang membangun mindset pembaca bahwa kekerasan yang terjadi karena ulah dari korban itu sendiri, misalnya korban menggunakan baju terbuka. Hal ini justru langsung membuat mindset kepada pembaca (khalayak) bahwa korban dilabeli negatif sehingga ada kewajaran kekerasan pun akan terjadi.

Sangat disayangkan memang jika ini terjadi, maka dari itu Veryanto lebih mengharapkan bahwa media lebih melek terhadap kode etik jurnalistik. Dengan mengetahui rambu-rambu dalam pemberitaan justru akan semakin memberikan penurunan kasus dan pemahaman masyarakat pun semakin meningkat.

Media Perlu UpGrade Skill

Menimpali terhadap temuan dari Veryanto, pembicara lain pun beranggapan perlu adanya peningkatan keahlian (upgrade skill) bagi para jurnalis itu sendiri. Pelaku media sosial pun harus teliti dalam hal ini, agar tidak terjadinya pelanggaran UU ITE. Devi Asmarani selaku Co-Founder dan Editor in Chief Magdalene.co memberikan sebuah masukan kepada para jurnalis untuk lebih peka dan meningkatkan kemampuan sebagai jurnalis.

Kerapnya para jurnalis mengalami kesalahan dalam hal mengambil kesimpulan dari hasil wawancara, ini perlu diminimalkan. Jurnalis seharusnya lebih mengembangkan intuisi yang menarik dan apik dalam mengambil kesimpulan yang pas.

Ada sebuah kesalahan pengambilan simpulan dari hasil wawancara. Misalnya saat jurnalis menanyakan kepada polisi terkait kasus pemerkosaan yang membuat sang korban meninggal dunia. Jurnalis menanyakan bagaimana kasus tersebut kepada polisi. Polisi menjawab bahwa saat  ditemukan di lokasi kejadian, sang korban sudah meninggal dunia dan masih mengenakan celana dalam. Rasa penasaran jurnalis berlanjut dengan menanyakan kembali kepada polisi terkait motif kasus tersebut. Polisi menjelaskan kembali bahwa motifnya kembang-kembang.

Untuk segera menghasilkan berita yang cepat dan viral, tentu jurnalis segera membuat pemberitaan di media dengan motif terjadinya pemerkosaan karena sang korban mengenakan celana dalam motif kembang-kembang. Hal inilah yang sangat disayangkan bagi Devy, bahwa sang jurnalis kurang kepekaan terhadap penggalian informasi untuk pemberitaan kepada khalayak.

Devy pun memberikan sebuah masukan yang berarti bahwa bagi para jurnalis sebaiknya menggali lebih banyak informasi. Bahkan dalam teknik berwawancara pun perlu cermat untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Tentu, hal tersebut menjadikan para jurnalis harus bisa melakukan upgrade skill nya selaku jurnalis.

Meminimalkan Ketidaksetaraan Gender

Melanjutkan pembicaraan yang diungkap oleh pelaku media, Lola Amaria justru mempunyai pengalaman unik dari peran dan profesi yang dilakukan. Sebagaimana yang diketahui bahwa Lola Amaria adalah seorang aktris dan juga produser serta pimpinan sebuah rumah produksi. Kemahirannya dalam mengemas sebuah film bertema kesetaraan gender sudah tidak diragukan lagi.

Dalam hal pekerjaan, Lola tidak memisahkan gender yang berbeda untuk tugas tertentu. Lola masih menganggap kemahiran dalam pekerjaan bisa dilakukan oleh siapa saja. Pria atau wanita jika bisa melakukan pekerjaan secara profesional itu bisa menghasilkan karya yang lebih baik. Lola tidak mengharuskan untuk penugasan sebagai kameramen adalah seorang pria. Jika ada wanita yang bisa melakukan yang terbaik dalam tugas tersebut, tidak masalah melakukannya.

Hal lain yang juga turut disorot adalah dalam pemilihan pemeran film yang pas dan sesuai. Lola tidak selalu mengambil pemeran dengan berparas cantik dengan sebuah konotasi berkulit putih. Lola justru lebih melihat pada aspek psikologis dan kaakter calon pemeran. Dengan melihat hal tersebut justru lebih kepada bertindak profesional dalam melakukan peran tersebut.

Dalam sebuah rumah produksi juga pernah terjadi bullying/pelecehan seksual dari senior kepada junior. Ini justru sangat diwanti-wanti kepada para kru di rumah produksinya agar tidak terjadi hal demikian. Lola pun kerap turun tangan dan menegur langsung senior yang melakukannya terhadap junior tersebut.

 


Dengan adanya sebuah landasan untuk melakukan hal yang baik, tentu akan terjadinya Indonesia yang lebih damai dan aman. Tentu saja dalam hal hal kasus kekerasan terhadap perempuan maupun anak akan berkurang. Semoga kampanye yang akan berlangsung 16 hari sejak 25 november dan berakhir 10 Desember 2021 ini bisa masif dan mendapatkan hasil yang maksimal. 




Komentar

Postingan Populer