Benarkah Pembatasan BBM Bersubsidi Berikan Kualitas Udara Jakarta Lebih Baik?

 

olah disain di Canva oleh Saepullah




Hari Selasa yang agak cerah, aku dan ketiga temanku (karena tidak ingin disebutkan namanya maka dalam tulisan ini aku menuliskan mereka dengan A, B, dan C) bepergian menuju Kawasan di Jakarta. Aku bersama A menaiki sepeda motorku, sedangkan B dan C mengendarai sepeda motor milik B. Mampir sejenak ke SPBU untuk membeli Bahan Bakar Minyak (BBM). Temanku B mengarahkan sepeda motornya menuju ke BBM Pertalite dengan antrian yang sangat Panjang. Sedangkan aku mengarahkan motorku ke pengisian BBM jenis Pertamax yang alhamdulillah sedang tidak antre. Tentu saja aku lebih cepat selesai untuk pengisian BBM Pertamax ke motorku. Saat sedang menunggu, terjadi sebuah obrolan yang menarik antara aku dan A.

 

A : Ciee, pake pertamax nih! Biar gak antre yaa?

Aku : ah, enggak juga sich. Sudah sedari tahun 2014 keles aku pakai Pertamax.

A : Oh, udah Lama juga yaa?

Aku : Iya, alhamdulillah bisa lebih cepet dan tidak mengantre juga lho.

A : iya sich, tuh B dan C masih ngantre ya. Padahal kita udah dari tadi selesai.

Aku : Nah, dengan menggunakan Pertamax ini membantu diri kita dan orang lain untuk hidup sehat juga lho.

A : Ah, masa iya?

Aku : Bener kok. Karena pengaruh emisi buang yang rendah dari Pertamax.

Lima belas menit berlalu, akhirnya B dan C pun selesai pengisian BBM Pertalitenya.

B : Ayo Bro kita lanjut perjalanan lagi.

Aku dan A : OK.

 

Olah disain di Canva oleh Saepullah (dokpri)

Perbincangan terhenti di SPBU tersebut. Kami segera melanjutkan perjalanan agar sampai di tempat tujuan lebih cepat dan tidak terjebak macet di pagi hari itu. Selama di perjalanan dengan berkendara bermotor tidak digunakan untuk banyak berbincang karena melihat kualitas udara jalan raya ayang tidak baik untuk kesehatan. 

 

Faktor Pengaruh Kualitas Udara di Jakarta

Sesampai di tempat tujuan di sebuah Kawasan di Jakarta pukul 08.45. Kami berempat pun berpencar dengan tujuan masing-masing. Saat sedang menyendiri dengan hidangan kopi yang tersaji, aku menscroll instagramku. Kulihat sebuah informasi dari laman KBR.id tentang sebuah diskusi virtual bersama YLKI. Ternyata, perbincangan yang akan dibahas tersebut bertajuk ‘Pengendalian BBM Bersubsidi Tepat Sasaran di Wilayah DKI Jakarta’. Tak kusia-siakan untuk mendengar pemaparan dalam diskusi yang tersaji tersebut. Segera kudaftar dan masuk ke dalam link zoom yang diberikan.


Aku menyimak pemaparan yang disampaikan oleh Bu Luckmi Purwandari selaku Direktur Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bahwa kondisi udara di Jakarta saat ini sudah semakin membaik. Faktor membaiknya tersebut dikarenakan adanya sebuah kebijakan dari pemerintah dalam menaikkan harga BBM pada September 2022. “Kami mendata, data kualitas udara ada di 5 stasiun. Dari DKI ada, juga dari KLHK ada. Kalau kami catat sejak September sejak kenaikan BBM 65 hari lalu, kecenderungannya membaik, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) nilainya menurun. Datanya sudah ada, namun belum dihitung berapa persen,” pungkas Bu Luckmi.

 

Olah disain di Canva oleh Saepullah

Memang, jika dilihat dari kondisi kesehatan bahwa pengaruh dari polusi udara dan emisi buang yang buruk bisa mengakibatkan adanya pemanasan global, hingga kepada penyakit lainnya seperti penyakit kanker, penyakit jantung, gangguan mata dan kulit, bahkan hingga kepada usia harapan hidup memendek, dan kematian meningkat. 


Kembali dilanjutkan oleh Bu Luckmi dalam webinar tersebut bahwa kualitas udara Jakarta kian membaik itu ada faktor yang menyertai, yaitu

1. Kenaikan Harga BBM membuat masyarakat kemudian beralih ke angkutan umum. Hal ini karena penyumbang terbesar pencemaran udara di Jakarta yaitu dari kendaraan bermotor.

2. Adanya Perbaikan Kualitas Udara. Hal ini karena adanya upaya pemerintah yang membatasi penggunaan bahan bakar bersubsidi. Adanya pembatasan bahan bakar bersubsidi mengalaihkan ke Bahan Bakar Non Subsidi tersebut membuat kendaraan bermotor lebih baik dalam emisi buang sehingga kualitas udara kian membaik.

“Karena kualitas bahan bakarnya yang bagus jadi emisinya rendah,” lanjut Bu Luckmi.

olah disain di Canva oleh Saepullah

Bu Luckmi dalam pemaparan di diskusi yang berlangsung di Zoom meeting tersebut mengungkapkan bahwa ada faktor lain yang dapat memengaruhi kualitas udara dengan adanya sebuah teknologi kendaraan yang mayoritas beroperasi saat ini. “kendaraan bermotor yang diproduksi di atas 2016 memiliki emisi lebih rendah. Hal ini diketahui dari data hasil uji emisi yang dilakukan oleh KLHK di Kementerian dan Lembaga,” tandas Bu Luckmi.

 

Pemaparan demi pemaparan oleh Bu Luckmi semakin menceracau kepada pemikiranku. Mendengar pemaparan yang penuh semangat dari Bu Luckmi membuatku agak tertegun dan mengingat kembali kondisiku dengan sepeda motor dan BBM Non Subsidi yang menyertai. Ternyata kondisi tersebut sangat mendukung adanya upaya perbaikan udara. Alhamdulillah, aku tidak salah dalam mengambil peran kebaikan sejak 2014 hingga saat ini. Bahkan sebenarnya aku lebih nyaman untuk naik KRL dan Transjakarta.

 

Solusi Terbaik Atasi Kualitas Udara di Jakarta

 

Selain Bu Luckmi, dalam diskusi hangat tersebut turut dihadiri oleh Ketua Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yaitu Tulus Abadi. Pak Tulus mensikapi yang dikatakan Bu Luckmi bahwa kondisi udara di Jakarta memang sejatinya berasal dari emisi kendaraan bermotor. Ada mobilitas kendaraan motor yang terjadi di Jakarta mulai dari jalan utama hingga ke gang-gang kecil turut pengaruhi kualitas udara. “Motor bisa dengan mudah menyebarkan polusi udara hingga polusi suara secara merata,” ucap Pak Tulus.

 

Pak Tulus kembali mengungkapkan bahwa polusi emisi menyebabkan langit Jakarta mendung dan gelap seperti akan terjadi hujan. Hal ini justru pengaruh dari adanya kendaraan pribadi yang menyebabkan kondisi tersebut. Adanya kebijakan dalam pembatasan subsidi BBM haruslah tepat sasaran. “Merujuk kepada UU 30 Tahun 2017 tentang Energi  bahwa subsidi energi itu adalah hak masyarakat yang tidak mampu. Justru adanya kebijakan pengendalian BBM Bersubsidi adalah masuk akal, Barang bersubsidi apapun jenisnya harus dibatasi dan dikendalikan,” ujar Pak Tulus dalam diskusi tersebut.

 

Flyer Acara (Dok. KBR, olah disain di Canva oleh Saepullah)

Pak Tulus pun kemudian menyampaikan dua rekomendasi pengendalian BBM Bersubsidi pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yaitu secara operasional harus ada insentif dan disinsentif. Insentif dimaksudkan kepada adanya penyediaan transportasi publik massal sehingga terjadi migrasi ke angkutan umum yang berikan kontribusi dalam penurunan emisi. Sedangkan untuk disinsentif ini berlaku karena sudah disediakan angkutan umum namun tidak menggunakannya. Dengan kondisi tersebut maka sudah selayaknya masyarakat tersebut menggunakan bahan bakar yang berkualitas lebih tinggi dan lebih mahal. Menanggapi kondisi demikian memang rujukan dari Pak Tulus lebih kepada adanya angkutan umum yang juga lebih baik, agar masyarakat mau menggunakannya.

 

Disamping itu, ada sebuah himbauan dari Kepala Dishub DKI Jakarta yaitu Pak Syafrin Liputo bahwa adanya penggunaan kendaraan umum justru bisa menghemat anggaran dalam mensubsidi BBM. Kendaraan umum yang disediakan di Jakarta seperti TransJakarta itu sudah steril jalurnya, dan KRL, LRT, bahkan MRT itu sudah diatur jadwal keberangkatan dan kedatangan di stasiun yang ditentukan. “Dengan adanya angkutan umum yang digunakan justru bisa menghindari kemacetan dan lebih tepat waktu,” tandas Pak Syafrin.

 

Tips Hadapi Pembatasan BBM Bersubsidi

 

Diskusi virtual pun berakhir hingga dzuhur yang cukup menarik. Tibalah saatnya untuk makan siang. Aku dan ketiga temanku kembali berkumpul. Saat berkumpul tersebut temanku si B membuka wacana terkait kondisi terbaru adanya pembatasan BBM Bersubsidi. Mereka bertiga agak menyesalkan kondisi demikian. Namun, aku bersikap dengan berikan arah yang lebih baik kepada mereka dan menganjurkan untuk menonton video diskusi virtual yang diadakan KBR dan YLKI tersebut.

 

Olah disain di Canva oleh Saepullah

Kukatakan juga kepada mereka bahwa melalui diskusi virtual tersebut terdapat kesimpulan bahwa kualitas udara Jakarta bisa semakin lebih baik dengan tidak menggunakan kendaraan pribadi. Namun, saatnya menggunakan kendaraan umum seperti TransJakarta atau KRL, LRT bahkan MRT. Dengan demikian bisa mengurangi kemacetan dan juga memengaruhi kualitas udara di Jakarta. Bukan saja faktor tersebut, namun dengan kendaraan umum bisa berangkat dan datang lebih tepat waktu juga.

 

Aku melanjutkan berkata kepada mereka bahwa Jika dalam kondisi lain tidak ingin menggunakan kendaraan umum di Jakarta, maka sudah saatnya menggunakan BBM berkualitas lebih tinggi dan lebih mahal. Hal ini sesuai dengan yang kulakukan dengan menggunakan BBM Pertamax sebagai contohnya. Tentu upaya yang dilakukan meski mengorbankan kepentingan pribadi (karena harganya lebih mahal) namun akan berdampak kepada kepentingan orang banyak dengan adanya kualitas udara lebih baik. 


Selain itu, ada juga sebuah budaya-budaya positif yang baik dilakukan di tengah masyarakat demi mengurangi penggunaan BBM bersubsidi, seperti adanya penggunaan sepeda saat ke ruang kerja, atau sekolah, atau berjalan kaki. Berjalan kaki dan bersepeda juga bisa meningkatkan kesehatan dengan berolahraga juga. Di sisi lain juga bisa dilakukan dengan budaya tidak merokok untuk kesehatan lebih baik dan mengurangi polusi juga. Nah, menurutku lagi nih, dengan menanam tumbuhan di rumah juga bisa bantu atasi mengurangi polusi juga nih.


Olah disain di Canva oleh Saepullah


Mereka pun mengamini yang kukatakan. Sejak saat itu, kami pun bersepakat untuk merubah kebiasaan demi terciptanya Jakarta yang lebih baik.

 

 

 

 

   



Komentar

Postingan Populer